Mata indah itu tersibak dari rambut gelapnya.
Meneror setiap desahan nafas yang ku hirup.
Seperti candu, aku mabuk di buatnya.
Seketika hilang semua rasa sakit; entah nyata atau fana, tapi aku menikmati nya.
#RRNM
Ilmu adalah jubahku. Biarkan tubuh ini hanya dibalut kain lapuk. Tak akan malu diri ini! Cukup dengan ilmu, akan ku jelajahi dunia ini!
Jumat, 12 April 2013
Sabtu, 20 Oktober 2012
Aku membisu di pembaringanmu
Aku membisu di pembaringanmu
Ingin menangis, menjerit, meronta
meneriakkan kepedihanku kepada semesta
Tapi tubuh ini terlalu lemah meski untuk bicara
Kerinduan tak terobati
pedih, perih, menyakitkan...
Ingin menangis, menjerit, meronta
meneriakkan kepedihanku kepada semesta
Tapi tubuh ini terlalu lemah meski untuk bicara
Kerinduan tak terobati
pedih, perih, menyakitkan...
Mata, Venus, dan Hujan
Mata, Venus, dan Hujan
#rrnm.- Bandung, Kiaracondong,
0805AM 10/15/12
Seorang lelaki muda duduk
termenung di tepian harapannya. Ia menatap langit tak henti-hentinya hingga
sebelah matanya seakan terbakar berwarna merah menyala dan sebelah lagi seperti
mati –pucat, gelap, hitam, kosong, tak bernyawa-.
Ia menatap langit dan berdoa
kepada Tuhan-nya, “Tuhan, mengapa hari tak kunjung hujan? Aku bosan dengan
panas ini, aku lelah dengan panas ini, aku hampir mati dan bahkan terkadang tak
sadar kalau aku masih hidup.”
Bukan Tuhan tak mendengar
doa-nya. Tuhan tahu, Tuhan maha Tahu. Ia mendengar dengan seksama setiap vokal
dan konsonan yang terucap dari lelaki muda itu, Tuhan membelai dengan tangan
kasih-Nya dengan iba seperti seorang Ibu kepada anaknya.
Hanya saja terkadang kita terlalu
naif untuk menyadari belaian kasih Tuhan. Kita terlalu bodoh untuk menyadari
rencana Tuhan. Kita terlalu ‘manusia’ untuk sekedar mensyukuri kehidupan kita.
Lelaki muda itu terus meratap dan
menatap ke arah langit.
“Awanmu sudah gelap Tuhan, tetapi
mengapa tak setetes-pun air yang menyentuh bumi ini dari langit-Mu yang maha
luas itu? Apakah bumi ini terlalu kotor sehingga hujan sekalipun enggan untuk
singgah menyentuh tanah-tanah merah ini?”
Tanpa disadari oleh lelaki malang
itu, sepasang mata cantik menatapnya dari jauh, mata cantik itu milik seorang
gadis cantik. Venus nama gadis itu. Namanya secantik dirinya. Wajahnya secantik
kepribadiannya. Venus, seorang dewi yang menjelma dan berdiri di atas tanah
merah ini.
Lelaki malang itu mencuri
pandangan sepasang mata cantik itu. Entah apa yang difikirkan oleh Venus, tapi
ia seperti melihat lelaki itu dari sisi lain kehidupannya, sisi lain dari
kepribadiannya, sisi yang sama sekali tak terlihat tapi ada dalam diri lelaki
itu. Venus memang seorang dewi! Tak diragukan lagi dari kebiksanaannya.
Tetapi Venus tetap menjaga
jaraknya dari lelaki itu. Sedikitpun ia tak mengambil langkah untuk sekedar
mencoba mencium bau kulit lelaki itu. Venus hanya mengawasinya dari kejauhan,
mencatat setiap gerakan kecil yang dilakukan lelaki itu dalam kebijaksanaannya.
Lelaki itu terus menatap,
meratap, dan melenguh memandang langit yang semakin gelap itu...
Entah sudah berapa kali Venus
berputar-putar mengelilingi lelaki itu dari kejauhan. Rerumutan dan tanaman-tanaman
yang ia lewati mati dan layu. Ia tahu tapi seakan tak peduli. Ia ingin sekali
mendekat tetapi ia tak tahu apakah lelaki itu sama seperti tanaman dan rumput
layu itu atau tidak. Ia tahu lelaki itu berbeda, tapi ia tetap takut untuk
hanya sekedar mengambil langkah untuk mendekat meski hanya satu inchi dari
tempatnya sekarang.
Langit semakin gelap
menyembunyikan matahari, tapi hujan tetap tak unjung turun. Sekarang kedua mata
lelaki itu benar-benar gelap dan mati. Lelaki itu berfikir buta lebih baik daripada
ia memiliki mata gelap yang tak bisa menitikkan setetespun air mata. Sekarang
ia meraung! Berteriak kencang ke arah langit sembari mengepalkan tinjunya.
Venus menangkap kejadian itu.
Alih-alih berlari mendekat, ia hanya berdiri, terdiam, menghentikan langkahnya.
Dan sekarang langkahnya menjadi tak teratur. Ia berjalan kesana kemari membuat
hampir semua tanaman yang ada disekitarnya dan yang di lalui-nya mati. Ia
menangis terisak.
Lelaki itu berhenti menengadah,
ia menundukkan kepalanya. Tapi sekejap, dari sudut matanya ia melihat sesosok
tubuh berselimut cahaya merunduk dan di sekitarnya tanaman-tanaman mati dan
layu.
Ia menatap sosok itu, tetapi
kecantikan itu menyadari tatapan mata gelap lelaki malang itu, kecantikan itu
memalingkan wajahnya, menyembunyikan wajah cantiknya dan berjalan semakin tak karuan. Kecantikan Venus itu sekejap
membuat lelaki itu lupa ia sedang menanti hujan.
Lelaki itu mendekat, sedkit demi
sedikit. Dengan hati-hati ia melangkah. Venus menyadarinya, itu memang yang ia
harapkan dan nanti-nantikan selama ini, tapi ia takut lelaki itu juga akan
bernasib sama dengan tanaman-tanaman yang layu dan mati itu.
Perang batin mendera Venus, di
satu sisi ia memang sudah merindukan wangi tubuh lelaki dengan mata gelap itu,
tapi di sisi lain ia pun takut! Ketakutan yang tak ia berikan kepada
tanaman-tanaman mati itu.
Venus mencoba berlari, tapi
ternyata lelaki itu sudah sangat dekat sehingga ia bisa mencium wangi tubuh
lelaki malang bermata gelap itu.
“Ya Tuhan, wangi ini memabukkan.
Seperti yang sudah aku duga sebelumnya.” pikir Venus.
Lelaki itu terpesona oleh
kecantikkan Venus, ia lupa tentang hujan yang ia nantikan.
Sekarang keduanya sudah sangat
dekat, mereka saling berhadapan. Kedua mata itu saling bertemu. Mata cantik
Venus menembus ke gelapan mata si lelaki kurus itu.
Tak satu patah kata-pun meluncur
dari mulut keduanya. Mereka hanya berdiri dan saling menatap. Menikmati
kerinduan yang sudah lama mereka nantikan. Kerinduan tak masuk akal yang
merasuk begitu saja, seakan mereka pernah bertemu pada kehidupan yang lain dan
di pertemukan kembali sekarang.
“Inikah yang semua orang
bicarakan? Inikah apa yang di sebutkan dalam kitab-kitab semua Agama yang ada
di dunia ini? Inikah yang mereka agung-agungkan dalam setiap lirik, prosa,
puisi dan lukisan? Inikah yang aku sendiri enggan menyebutkannya?” pikir lelaki
itu.
Seperti bisa membaca pikirannya,
Venus tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Dan ia mengangguk perlahan seperti
sebuah jawaban.
Mereka berpelukan, saling
merasakan kehangatan dari kerinduan yang mereka nantikan selama ini.
Tuhan tersenyum melihat kedua
hamba-Nya. Tuhan pun dengan perlahan merobek langit, dan hujan pun turun.
Perlahan, gerimis membuat tanah
merah ini basah.
Mereka terus berpelukan. Sunyi,
tak sepatah kata-pun keluar.
Lelaki itu, perlahan mata
gelapnya kembali bercahaya, meski hanya gerimis, tapi setidaknya ia menikmati
tetesan air yang menyentuh kulitnya, bahkan sekarang ia menikmatinya dalam
pelukan Venus.
Matanya menitikkan air mata. Hal
yang sudah lama ia lupakan!
Sebuah kalimat pertama keluar
dari mulut lelaki itu memecah kesunyian di antara mereka berdua: “Terima kasih
Tuhan”.
Dan Venus pun tersenyum, senyuman
cantik yang sekarang ia bagi dengan lelaki itu.
Selasa, 17 April 2012
Wado, 12 April 2012
Kamis, 12 April 2012
10:17 AM
Wado - Sumedang, Jawa Barat, Indonesia
Langit biru, semilir angin, suasana sebuah kota kecil yang hangat. Esensi kata "pulang" semakin berarti ketika kita sedang berada jauh dari tempat kita menetap. Apa yang kita miliki terasa sangat berharga.
Dia yang merindukan kita. Dia yang dengan setia menunggu. Mereka yang bertanya-tanya dimana kita berada dan bagaimana kabar kita.
Banyak yang bertanya, "Apa sebetulnya tujuan kalian? Apa yang kalian cari?".
Ya, Apa sabenarnya?
Ketika pertama kali saya melakukan perjalanan seperti ini, itu juga yang saya pertanyakan. Saya bertanya pada diri saya sendiri. Apa sebenarnya tujuan saya? Kemana tujuan saya? Sekedar untuk bersenang-senang? Itu tidak mungkin. Bukan dengan cara seperti itu bersenang-senang. Jika iya-pun, akan lebih menyenangkan jika kita bisa berbagi kesenangan itu dengan teman, sahabat, atau kekasih.
Pencarian esensi dari kata "pulang". Mungkin itu lebih tepatnya.
Mungkin orang-orang berkata saya sudah gila, aneh, tidak waras, atau apapun yang mereka katakan. Tapi saya menikmati ini. Menikmati kerinduan ini. Menikmati ketika saya "pulang" dengan membawa kemenangan. Pulang dengan membawa cerita. Pulang ke suatu hal yang saya sebut "rumah".
Inilah hidup! Gambaran kecil kehidupan kita sebagai manusia. Melangkah, berjalan, menapakkan kaki, menuliskan sejarah, bertahan hidup.
Dan dimana sedang melakukan perjalanan seperti ini, apa yang sebelumnya tak pernah sedikitpun tak pernah terfikirkan, dengan sendirinya akan bermunculan di dalam kepalamu. Apa itu? Entahlah, langkahkan saja kakimu! ;)
RRNM
10:17 AM
Wado - Sumedang, Jawa Barat, Indonesia
Langit biru, semilir angin, suasana sebuah kota kecil yang hangat. Esensi kata "pulang" semakin berarti ketika kita sedang berada jauh dari tempat kita menetap. Apa yang kita miliki terasa sangat berharga.
Dia yang merindukan kita. Dia yang dengan setia menunggu. Mereka yang bertanya-tanya dimana kita berada dan bagaimana kabar kita.
Banyak yang bertanya, "Apa sebetulnya tujuan kalian? Apa yang kalian cari?".
Ya, Apa sabenarnya?
Ketika pertama kali saya melakukan perjalanan seperti ini, itu juga yang saya pertanyakan. Saya bertanya pada diri saya sendiri. Apa sebenarnya tujuan saya? Kemana tujuan saya? Sekedar untuk bersenang-senang? Itu tidak mungkin. Bukan dengan cara seperti itu bersenang-senang. Jika iya-pun, akan lebih menyenangkan jika kita bisa berbagi kesenangan itu dengan teman, sahabat, atau kekasih.
Pencarian esensi dari kata "pulang". Mungkin itu lebih tepatnya.
Mungkin orang-orang berkata saya sudah gila, aneh, tidak waras, atau apapun yang mereka katakan. Tapi saya menikmati ini. Menikmati kerinduan ini. Menikmati ketika saya "pulang" dengan membawa kemenangan. Pulang dengan membawa cerita. Pulang ke suatu hal yang saya sebut "rumah".
Inilah hidup! Gambaran kecil kehidupan kita sebagai manusia. Melangkah, berjalan, menapakkan kaki, menuliskan sejarah, bertahan hidup.
Dan dimana sedang melakukan perjalanan seperti ini, apa yang sebelumnya tak pernah sedikitpun tak pernah terfikirkan, dengan sendirinya akan bermunculan di dalam kepalamu. Apa itu? Entahlah, langkahkan saja kakimu! ;)
RRNM
Selasa, 10 April 2012
Aku Pria Angkuh Pengelana
Aku Pria Angkuh Pengelana
Aku seorang pria.
Aku tidak seperti mereka.
Meskipun zat-ku sama.
Tapi ruh-ku berbeda.
Aku seorang pria.
Merekapun pria yang sama.
Tapi aku seorang pengelana.
Bukan anak manja yang selalu terbuai cinta.
Aku seorang pria.
Aku menjalani hari dengan prinsipku.
Orang mencaci idealismeku.
Tapi aku tetap angkuh; inilah aku!
Aku seorang pria.
Aku seorang pengelana.
Aku dengan kisah-kisahku.
Yang dulu hanya terselip di beberapa halamanku.
Tapi aku ingin namamu tercantum di setiap halamanku.
Hingga buku ini usang, dan akhirnya tertutup.
Kata tak cukup untuk menyampaikan.
Bahasa hanyalah bahasa.
Lirik hanya dilantunkan.
Tapi rasa adalah keagungan.
Sekali lagi aku adalah pria.
Pengelana angkuh yang berjalan.
Menapaki pahit getir kehidupan.
Mencari sebuah pintu cantik untuk diketuk.
Yang dia harap ruang di balik pintu cantik itu jadi rumah terakhirnya kelak...
[Bandung 0440sun040812]
Aku seorang pria.
Aku tidak seperti mereka.
Meskipun zat-ku sama.
Tapi ruh-ku berbeda.
Aku seorang pria.
Merekapun pria yang sama.
Tapi aku seorang pengelana.
Bukan anak manja yang selalu terbuai cinta.
Aku seorang pria.
Aku menjalani hari dengan prinsipku.
Orang mencaci idealismeku.
Tapi aku tetap angkuh; inilah aku!
Aku seorang pria.
Aku seorang pengelana.
Aku dengan kisah-kisahku.
Yang dulu hanya terselip di beberapa halamanku.
Tapi aku ingin namamu tercantum di setiap halamanku.
Hingga buku ini usang, dan akhirnya tertutup.
Kata tak cukup untuk menyampaikan.
Bahasa hanyalah bahasa.
Lirik hanya dilantunkan.
Tapi rasa adalah keagungan.
Sekali lagi aku adalah pria.
Pengelana angkuh yang berjalan.
Menapaki pahit getir kehidupan.
Mencari sebuah pintu cantik untuk diketuk.
Yang dia harap ruang di balik pintu cantik itu jadi rumah terakhirnya kelak...
[Bandung 0440sun040812]
Jurnal Yang Terbakar
Jurnal Yang Terbakar
Bandung, 1 Maret 2012
14.00
Matahari masih terus bersembunyi di antara awan gelap itu.
Aku duduk di pekarangan rumah kakekku itu. Tempat dimana aku sebut "rumah" ketika orang-orang bertanya dimana aku tinggal.
Aku membuka-buka jurnalku, membaca tiap halamannya dengan seksama. Kadang tersenyum sendiri, atau kesal sekesal-kesalnya. "Siapakah orang tolol yang menulis dan mengalami hal-hal semacam ini?" mungkin orang akan bertanya seperti itu. Masa bodoh!
Disitulah kutuangkan semuanya. Pikiran-pikiranku. Omong-kosongku. Celotehanku. Cacianku.Gambar-gambarku.
Aku mulai membakar beberapa halaman, membakar ruang-ruang kosong yang ada dalam halaman itu. Aku memperhatikan pola-pola yang terbentuk. Memperhatikan api membakar lembaran-lembaran itu.
Tanpa disadari seorang wanita menghampiriku. Dia memperhatikan sebentar dari balik teralis besi pagar halaman rumah.
Lalu dia bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan?"
Lalu dia bertanya, "Apa yang sedang kau lakukan?"
Aku memandanginya. Sesaat naluriku sebagai lelaki muncul. Ia memang seorang wanita yang sangat menarik. Kulit putih bersih, mulus, badannya ramping berisi, rambut hitam panjang. Matanya bulat indah bercahaya. Dan bibirnya itu! Jika aku binatang, sudah kucabik bibir itu dengan gigiku.
"Hey? Ada apa denganmu? Apa yang sedang kau lakukan itu?" Suara manjanya itu membuyarkan fantasi sesaatku itu. 'Bodoh' kataku dalam hati, 'basa-basi bodoh'.
"Hey? Ada apa denganmu? Apa yang sedang kau lakukan itu?" Suara manjanya itu membuyarkan fantasi sesaatku itu. 'Bodoh' kataku dalam hati, 'basa-basi bodoh'.
"Membakar kertas. Lihat?" Jawabku ketus. Aku suka wanita cantik, tapi malas menghadapi wanita bodoh.
"Aku tidak bodoh! Aku tahu kamu sedang membakar kertas!" WAnita itu mendekat. Terlihat jelas kejengkelan di wajahnya itu.
"Untuk apa kau membakar kertas-kertas itu? Dan yang aku lihat, kau tidak membakar habis semuanya, kau seperti membuat suatu pola dari api itu. Untuk apa?" Suara manja menggemaskan itu terdengar menjengkelkan untukku. Ditambah pertanyaan yang bertubi-tubi yang sebenarnya semenjak tadi aku tanyakan juga pada diriku sendiri.
"Aku tidak bodoh! Aku tahu kamu sedang membakar kertas!" WAnita itu mendekat. Terlihat jelas kejengkelan di wajahnya itu.
"Untuk apa kau membakar kertas-kertas itu? Dan yang aku lihat, kau tidak membakar habis semuanya, kau seperti membuat suatu pola dari api itu. Untuk apa?" Suara manja menggemaskan itu terdengar menjengkelkan untukku. Ditambah pertanyaan yang bertubi-tubi yang sebenarnya semenjak tadi aku tanyakan juga pada diriku sendiri.
Aku menghela nafas panjang. Dan mengangkat kepalaku memandang wajahnya. Mata kami saling bertemu.
'Sial!' ucapku dalam hati 'Setan sedang tertawa terbahak!'.
'Sial!' ucapku dalam hati 'Setan sedang tertawa terbahak!'.
Akupun kembali membakar kertas-kertas itu sambil menjawab pertanyaannya: "Ada banyak ruang kosong dalam halaman-halaman di jurnal-jurnalku ini. Aku benci kekosongan, kebodohan. Aku hanya berharap dengan sedikit membakarnya bisa menyelesaikan, bisa mengisi kekosongan itu, kebodohan itu. Mengerti?"
Wanita itu hanya memperhatikan, lalu menyembulkan kepalanya di antara pagar supaya bisa melihat lebih jelas.
"Kenapa harus membakarnya? Kenapa tak kau tulis beberapa kata lagi saja? Atau kau gambar sesuatu mungkin? Lebih baik menurutku daripada harus kau bakar."
Aku terdiam sejenak sembari terus membakar kertas-kertas itu.
"Belakangan ini, hidupku seakan beralih ke dalam jurnal ini. Aku menulis jurnal ini ke depan, bukan ke belakang. Aku tak ingin berbalik, berpaling. Cukup kubaca bagian yang telah kulalui, tak ingin ku sentuh lagi."
"Dan besok adalah hari ulang tahunku, aku anggap kertas-kertas ini adalah lilin-lilinnya. Aku membakar dan meniupnya berulang-ulang. Aku berfikir, manusia tak akan bisa merubah masa lalunya, manusia hanya bisa memperbaikinya di masa kini dan masa depan."
"Aku hanya memperbaiki kekosongan, kebodohan, dalam jurnal ini. Aku tak bisa merubahnya, itu berarti kebohongan dan kebodohan yang lebih tolol lagi bagiku. Maka dari itu aku membakarnya. Aku harap semuanya dapat... setidaknya... terlihat lebih baik dari kenyataannya."
Wanita itu hanya memandangiku, lalu ia berjongkok. "Hmm. Analogi yang cukup baik. Jadi kamu adalah tipe orang yang selalu lari dari kenyataan ya?"
'Tidak! Bukan begitu!' Ah, sial. Aku tak bisa berkata-kata. Perlawananku berkahir di tenggorokan yang tersedak ini. Aku hanya tertegun memandangi wanita itu.
Dia berkata lagi sembari tersenyum dan berdiri "Jangan membantah. Pada dasarnya semua orang seperti itu. Tapi mereka memiliki kompensasi berbeda-beda untuk lari dari kenyataan. Tidak bisa disalahkan, sewaktu-waktu manusia memang memerlukannya. Tapi ingat! Carilah jalan untuk pulang ketika kamu berlari. Dan jangan sampai terlalu jauh! Hadapi dunia ini. Aku yakin, kamu, atau semua orang, pasti bisa menghadapi dunia ini. Tak perlu lari dari kenyataan. Carilah kompensasi yang lebih positif. Oke?"
Aku terdiam, tak bisa berkata-kata lagi. Aku tertunduk dan kembali membakar kertas-kertas itu.
"Kenapa harus membakarnya? Kenapa tak kau tulis beberapa kata lagi saja? Atau kau gambar sesuatu mungkin? Lebih baik menurutku daripada harus kau bakar."
Aku terdiam sejenak sembari terus membakar kertas-kertas itu.
"Belakangan ini, hidupku seakan beralih ke dalam jurnal ini. Aku menulis jurnal ini ke depan, bukan ke belakang. Aku tak ingin berbalik, berpaling. Cukup kubaca bagian yang telah kulalui, tak ingin ku sentuh lagi."
"Dan besok adalah hari ulang tahunku, aku anggap kertas-kertas ini adalah lilin-lilinnya. Aku membakar dan meniupnya berulang-ulang. Aku berfikir, manusia tak akan bisa merubah masa lalunya, manusia hanya bisa memperbaikinya di masa kini dan masa depan."
"Aku hanya memperbaiki kekosongan, kebodohan, dalam jurnal ini. Aku tak bisa merubahnya, itu berarti kebohongan dan kebodohan yang lebih tolol lagi bagiku. Maka dari itu aku membakarnya. Aku harap semuanya dapat... setidaknya... terlihat lebih baik dari kenyataannya."
Wanita itu hanya memandangiku, lalu ia berjongkok. "Hmm. Analogi yang cukup baik. Jadi kamu adalah tipe orang yang selalu lari dari kenyataan ya?"
'Tidak! Bukan begitu!' Ah, sial. Aku tak bisa berkata-kata. Perlawananku berkahir di tenggorokan yang tersedak ini. Aku hanya tertegun memandangi wanita itu.
Dia berkata lagi sembari tersenyum dan berdiri "Jangan membantah. Pada dasarnya semua orang seperti itu. Tapi mereka memiliki kompensasi berbeda-beda untuk lari dari kenyataan. Tidak bisa disalahkan, sewaktu-waktu manusia memang memerlukannya. Tapi ingat! Carilah jalan untuk pulang ketika kamu berlari. Dan jangan sampai terlalu jauh! Hadapi dunia ini. Aku yakin, kamu, atau semua orang, pasti bisa menghadapi dunia ini. Tak perlu lari dari kenyataan. Carilah kompensasi yang lebih positif. Oke?"
Aku terdiam, tak bisa berkata-kata lagi. Aku tertunduk dan kembali membakar kertas-kertas itu.
Wanita itu berkata lagi "Baiklah, aku hanya bisa membantumu sebatas itu. Selanjutnya semua berada di tanganmu. Sampai jumpa kawan!"
Wanita itu mengakhiri kata-katanya sembari tersenyum simpul dan mengerling genit. Ia berlari meninggalkanku.
Tak sempat bertanya namanya atau layaknya suatu dialog perkenalan yang seharusnya. Ingin berterima-kasih sebetulnya. Tapi sudahlah, apa peduliku!
Wanita itu mengakhiri kata-katanya sembari tersenyum simpul dan mengerling genit. Ia berlari meninggalkanku.
Tak sempat bertanya namanya atau layaknya suatu dialog perkenalan yang seharusnya. Ingin berterima-kasih sebetulnya. Tapi sudahlah, apa peduliku!
Kata-katanya benar, fikirku.
Aku selalu berusaha lari dari kenyataan. Sudahlah, hadapi saja.
Dan aku pun terus membakara kertas-kertas itu.
Damai...
Ya, aku merasakan kedamaian, ketenangan. Seakan beban-bebanku ikut terbakar dengan kertas-kertas itu.
Lari dari kenyataan? Entahlah. 'Masa bodoh!' pikirku. 'Biar kubakar kenyataan ini'.
"Happy birthday to me..." gumamku....
Aku selalu berusaha lari dari kenyataan. Sudahlah, hadapi saja.
Dan aku pun terus membakara kertas-kertas itu.
Damai...
Ya, aku merasakan kedamaian, ketenangan. Seakan beban-bebanku ikut terbakar dengan kertas-kertas itu.
Lari dari kenyataan? Entahlah. 'Masa bodoh!' pikirku. 'Biar kubakar kenyataan ini'.
"Happy birthday to me..." gumamku....
[ Bandung. 1400thu030112 ]
Lembayung Senja Sang Pengelana
Lembayung Senja Sang Pengelana
Lembayung senja bercerita
Tentang seorang pemuda pengelana
Ia berjalan menyusuri getir kehidupan
Menelan cacian, menjilat makian
Ia terus berjalan dengan angkuh
Wajah mendongak mata terbakar
Tak kecil hati ia menerjang hinaan
Wajah angkuh tetap terpampang
Hatinya merasa sepi, menjerit ia
Memecah kesunyian di ruang hati
Terkadang ia memohon ingin mati
Tapi ia tak ingin berakhir dipecundangi
Terus berjalan, ia menapaki
Menanti lembayung senja
Temannya di setiap hari
Yang bisa mengerti isi hatinya
- senja di atap rumah hangat itu bersamanya-
1700sat040712
Lembayung senja bercerita
Tentang seorang pemuda pengelana
Ia berjalan menyusuri getir kehidupan
Menelan cacian, menjilat makian
Ia terus berjalan dengan angkuh
Wajah mendongak mata terbakar
Tak kecil hati ia menerjang hinaan
Wajah angkuh tetap terpampang
Hatinya merasa sepi, menjerit ia
Memecah kesunyian di ruang hati
Terkadang ia memohon ingin mati
Tapi ia tak ingin berakhir dipecundangi
Terus berjalan, ia menapaki
Menanti lembayung senja
Temannya di setiap hari
Yang bisa mengerti isi hatinya
- senja di atap rumah hangat itu bersamanya-
1700sat040712
Langganan:
Postingan (Atom)